Sejarah Invasi Bangsa Mongol Kepulau Jawa Yang Jarang Diketahui
Sabtu, 23 April 2022
Tulis Komentar
Pada abad ke-13 M, Kubilai Khan bertakhta di Tiongkok dan menuntut sumpah setia Asia Tenggara Operasi militer pun digelar, dan Mongol menyapu Vietnam, Kamboja, Champa, Thailand, Myanmar, Korea, hingga Jepang.
Ada yang melawan dengan gagah, ada yang tunduk menyerah. Namun Jawa, adalah satu-satunya negara yang harus digempurnya dengan angkatan perang. Kepada para jenderalnya, Kubilai Khan bertitah: “Jika Jawa kalian duduki, negara-negara lainnya akan tunduk dengan sendirinya!”
Kedatangan Bangsa Mongol Kepulau Jawa
Langit tahun 1293 M menjadi saksi ketika 20 ribu tentara gabungan Tiongkok dan Mongol mendarat di pantai Tuban. Catatan Sejarah Dinasti Yuan (1279 - 1368 M) melaporkan angkatan perang ini kemudian menusuk ke pedalaman Jawa melalui sungai hingga sampai di Majapahit.
Saat itu Majapahit hanyalah desa kecil bawahan Raja Jayakatwang, yang berkuasa atas Jawa setelah berhasil memberontak kepada Kertanegara, Maharaja Singhasari (1268- 1292 M). Pemberontakan yang menewaskan Kertanegara itu dapat Anda cek kisahnya nanti.
Kerja Sama Mongol dan Dyah Wijaya
Bagi Dyah Wijaya (1293-1309 M), menantu Kertanegara, kedatangan Mongol adalah momentum yang tepat untuk membalas Jayakatwang. Majapahit dan Mongol pun bersepakat, jika Mongol membantu Majapahit menghancurkan Daha, Majapahit akan menyatakan tunduk kepada Mongol.
Sialnya, persekutuan Mongol dan Majapahit terendus Jayakatwang, yang bergegas mengirim pasukan untuk menumpas para pemberontak. Diceritakan dalam catatan Dinasti Yuan, Dyah Wijaya dikejar pasukan Daha dan meminta tolong pada Mongol.
Nah, giliran pasukan Daha yang terbirit-birit dikejar tentara Mongol. Jenderal Ike Mese dan perwiranya sampai harus menyemangati sang pangeran lagi Dan mereka memutuskan segera menggempur ibukota Daha.
Kekalahan Daha
Menurut Pararaton, serangan datang dari dua arah: Mongol dari utara, gabungan Majapahit-Madura dari timur. Kerja sama itu berhasil mengalahkan 100 ribu pasukan Jayakatwang, dan kerajaan Daha pun luluh lantak.
Jayakatwang menyerah dan menjadi tawanan. Setelah kemenangan itu, Dyah Wijaya pamit untuk menyiapkan upeti bagi Mongol di Majapahit. Jenderal Shi Bi dan Ike Mese mengizinkan dan mengutus 2 perwira beserta 200 prajurit untuk mengawalnya ke Majapahit.
Salah satu upeti yang dahulu dijanjikan Arya Wiraraja dalam suratnya kepada Mongol, adalah putri-putri Kertanegara. Salah satunya, Gayatri, istri kesayangan Dyah Wijaya. Tentu saja, Dyah Wijaya tidak membiarkan hal itu terjadi.
Ia berhasil meyakinkan para jenderalbahwa para putri itu akan ketakutan bila didatangi pasukan bersenjata lengkap, sehingga pasukan kecil Mongol pun berangkat tanpa senjata. Sesampainya di Majapahit, dua perwira itu dibunuh oleh Sora, abdi setia Dyah Wijaya, sementara 200 prajuritnya dihabisi Ranggalawe.
Berikutnya, serangan dadakan mereka lancarkan pada pasukan Mongol yang tengah merayakan kemenangan di pelabuhan Canggu. Pasti shock banget mereka Sejarah Dinasti Yuan mencatat pihak Mongol disergap dari dua arah dan terdesak hebat. Serbuan Dyah Wijaya menewaskan 3000 tentara Mongol, dan yang tersisa berlayar pulang ke Beijing.
Mereka memboyong emas dan perak, serta berbagai rampasan perang dari Daha, termasuk keluarga raja yang ditawan. Jayakatwang dan putranya, Ardharaja, dihukum mati oleh pihak Mongol, mungkin untuk melampiaskan kejengkelan atas kekalahan mereka di Jawa. Sementara itu, setelah sukses mengalahkan Mongol, Dyah Wijaya pun dinobatkan sebagai raja pertama Majapahit, dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardana.
Salah satu momen penting dalam sejarah berdirinya Majapahit adalah perjanjian kerja sama antara Mongol dan Dyah Wijaya. Menurut tradisi masyarakat, lokasi perjanjian itu masih ada hingga sekarang, Yakni Situs Raos Pacinan.
Sejarah Dinasti Yuan (1271 - 1368) mencatat para perwira Mongol menyusur Sungai Sedayu hingga Sungai Brantas, sebelum akhirnya sampai di Majapahit, yang memiliki jembatan apung. Adanya jembatan apung menyiratkan Majapahit ada di pinggir sungai Brantas.
Dari Kitab Pararaton kita pun tahu, Majapahit dibangun Dyah Wijaya dengan membuka hutan Tarik, sehingga kemungkinan lokasi Desa Majapahit saat itu ada di Kecamatan Tarik, Sidoarjo, yang memang berada di pinggir Sungai Brantas serta masih memiliki tinggalan arkeologis.
Di Desa Tarik itulah pasukan Mongol bersepakat dengan Dyah Wijaya. Jadi, peristiwa itu tidak terjadi di Situs Raos Pacinan, meski masyarakat sudah kadung mengira demikian. Namun pertanyaan penting berikutnya adalah, apakah kedatangan pasukan Mongol benar-benar terjadi, seperti dalam catatan beberapa naskah kuno tadi?
Karena tidak satu pun prasasti menyebut secara jela kedatangan bangsa Mongol di tanah Jawa. Prasasti Sukamerta (1296 M), misalnya, bahkan mencatat Dyah Wijaya berjuang dengan kekuatannya sendiri, tanpa bantuan pihak lain.
Namun filolog Irawan Djoko Nugroho memiliki pandangan berbeda. Menurut beliau, istilah anyaƧaktiniraƧraya, atau tanpa bantuan tenaga orang lain, dalam prasasti itu bukan mau menafikan keberadaan pasukan Mongol.
Itu karena dari sudut pandang Dyah Wijaya, dialah yang memanfaatkan momentum perang Daha-Mongol untuk mendukung agendanya sendiri. Ada Epigraf yang menyoroti bahwa kedatangan bangsa Mongol di Jawa hanya ada dalam sumber naskah, seperti Negarakertagama (1365 M), Pararaton (1613 M), dan beberapa Kidung.
Sayangnya beliau luput menyebutkan sumber sezaman dari Sejarah Dinasti Yuan (1279 - 1368 M), Yaitu keterangan tiga jenderal Mongol yang diutus ke Jawa, yakni Shi Bi, Gao Xing, dan Ike Mese, sebagai laporan resmi dari masing-masing mereka kepada kaisar Kubhilai Khan.
Dari kacamata sejarah kita, catatan Tiongkok ini mungkin sumber sezaman, namun dalam kacamata sejarah Tiongkok, mereka sumber primer yang ditulis LANGSUNG oleh PELAKU SEJARAH.
kedatangan pasukan Mongol ke Jawa memang benar-benar terjadi. Namun kenapa peristiwa sepenting itu tidak dituangkan Dyah Wijaya dalam prasastinya? Menurut epigraf tadi “kemungkinan karena peristiwa itu memalukan baginya karena dia licik”.
Licik yang dimaksud di sini adalah karena Dyah Wijaya mengkhianati perjanjian dengan Mongol, padahal di Prasasti Gunung Butak (1294 M), Dyah Wijaya menyebut pengkhianatan Jayatkatwang pada Raja Kertanegara sebagai hal yang memalukan.
Ada juga arkeolog yang menyumbang asumsi, bantuan Mongol tidak dicatat dalam prasasti
karena orang Jawa Kuno menganggap bangsa asing, termasuk Mongol, adalah asura yang harus diusir dan tak perlu disebutkan.
Jujur saya bingung, ini landasannya apa. Namun bagi saya, kedatangan Mongol ke Jawa
masih dikenang orang Majapahit dengan cara yang positif, karena 71 tahun kemudian,
Prapanca mencatatnya dalam Negarakertagama sebagai “arddha mwang wang tatar” atau “bersekutu dengan orang-orang Mongol”.
Kata “arddha” atau bersama/bersekutu ditulis secara gamblang dan positif. Meski, yah, mengingat ini pujasastra, Prapanca mungkin telah menyaring sisi dramatis dan menampilkan sisi normatifnya saja. Yang butuh asupan drama & suka keributan,
Yang pasti, seandainya Dyah Wijaya mematuhi perjanjian itu, ia pasti akan kehilangan istri tercintanya. Majapahit mungkin tidak akan menjadi kemaharajaan besar, dan entah sampai kapan nusantara berada di bawah cengkeraman Mongol. Nah, seandainya kamu menjadi Dyah Wijaya,
apa yang akan kamu lakukan jika dihadapkan pada pilihan yang sama? Setia pada perjanjian, atau bersiasat licik demi menyelamatkan orang tercinta dan tetap merdeka?
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Invasi Bangsa Mongol Kepulau Jawa Yang Jarang Diketahui"
Posting Komentar